Peristiwa ini merupakan salah satu luka terdalam hubungan antara tentara (militer) dan mahasiswa (sipil) di era Orde Baru.
Rene Louis Conrad (wafat September 1970) adalah mahasiswa Institut
Teknologi Bandung yang tewas karena kekerasan oleh anggota Kepolisian
Republik Indonesia.
Di kota Bandung saat itu, mahasiswa dan juga remaja-remaja menggemari
mode rambut panjang yang dikenal sebagai mode rambut gondrong. Bukan
hanya para seniman Bandung yang berambut gondrong, tetapi juga kaum muda
Bandung. Kesenangan akan rambut gondrong yang bagi kaum muda itu
terkait dengan ekspresi kebebasan mereka sebagai pribadi, terusik
tatkala Kepolisian wilayah Bandung entah atas dasar hukum apa
menjalankan serangkaian razia rambut gondrong di jalan-jalan pusat
keramaian Bandung. Pelaksana razia adalah Taruna-taruna Tingkat IV
Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) Kepolisian
–waktu itu kampus Akabri Kepolisian masih di Sukabumi.
Calon-calon perwira polisi yang tergabung dalam Yon Waspadha Sukabumi
ini dengan tegas dan penuh percaya diri melaksanakan tugas. Semua
mahasiswa yang yang jadi sasaran pengguntingan rambut, mereka sapa
sebagai ‘dik’ mungkin karena menyadari posisi superior mereka, dan ini
sekaligus mengundang reaksi antipati dari para mahasiswa Bandung. Tanpa
ampun gunting mereka beraksi memotong rambut korban razia walaupun para
korban ini memprotes. Di antara para korban, adalah mahasiswa dan
asisten dosen ITB serta sejumlah mahasiswa ABA (Akademi Bahasa Asing)
Bandung.
Bagi para taruna rambut gondrong adalah sesuatu yang salah, tapi bagi
para mahasiswa rambut mereka –apapun modelnya– adalah bagian dari hak
pribadi dan hak mengekspresikan kebebasan mereka. Dalih bahwa banyak
kriminal yang berambut gondrong, sama sekali tidak masuk dalam alur
logika mereka, bisa dijadikan alasan untuk menggeneralisir bahwa mereka
yang berambut gondrong dengan sendirinya kriminal. Karena, di mata
mahasiswa, para penjahat dan koruptor justru banyak yang berambut cepak
crew cut ala militer.
Polemik terjadi sejak pertengahan Agustus hingga September 1970. Dalam
suatu pernyataan yang ditandatangani oleh Ketua Umum DM ITB Sjarif Tando
dan Sekertaris Umum Bambang Warih Kusuma, (26 September 1970) mengecam
pengguntingan rambut itu sebagai “pemerkosaan hak-hak azasi
perseorangan”. Tindakan itu “tanpa dasar-dasar hukum yang sah dan
alasan-alasan kuat yang masuk akal”. Dikerahkannya taruna-taruna Akabri
untuk hal-hal yang semacam itu, disebut sebagai “pendidikan yang akan
menyesatkan tugas-tugas kepolisian yang sebenarnya”. “Pengguntingan
rambut tidak termasuk praktikum kewibawaan yang sehat, melainkan
praktikum kekuasaan…. Sungguh sangat sembrono sifat instruksi itu karena
hal tersebut dapat diartikan sebagai pameran kekuatan penguasa,
daripada penyelesaian masalah yang sebenarnya”.
Senat Mahasiswa ABA memprotes “Mengapa cara pemberantasan rambut
gondrong disamakan dengan cara pemberantasan penjahat atau kriminal ?”.
Menurut mahasiswa rambut cepak juga bisa disebutkan sebagai tanda kepatuhan dan ketaatan yang tolol dari para taruna.
Dari segi kematangan ilmu dan intelektual, sebenarnya para taruna itu
tak bisa dibandingkan dengan para mahasiswa yang untuk sebagian sudah
di atas tiga tahun duduk di perguruan tinggi. Taruna-taruna itu bagi
para mahasiswa hanyalah robot-robot akademi kepolisian. Dan memang perlu
dicatat, angkatan yang akan lulus tahun 1970 ini –sehingga disebut
Angkatan 1970, berdasarkan tahun kelulusan– adalah angkatan pertama
produk Akabri Kepolisian yang diintegrasikan dari semula sebuah akademi
kepolisian murni di Sukabumi menjadi akademi dengan tambahan materi
kemiliteran. Kepolisian sendiri pada saat itu juga disejajarkan sebagai
satu angkatan dalam jajaran Angkatan Bersenjata dengan penamaan Angkatan
Kepolisian Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Panglima
Angkatan Kepolisian.
Ketegangan dan suasana panas yang meningkat, coba didamaikan oleh para
petinggi kepolisian dan militer dengan berbagai cara, lewat serentetan
pertemuan dengan kalangan pimpinan perguruan tinggi se Bandung.
Sebuah inisiatif dijalankan oleh petinggi kepolisian di Bandung antara
lain dengan Ketua Dewan Mahasiswa ITB waktu itu Sjarif Tando. Untuk
mencairkan permusuhan antara mahasiswa dan taruna, dirancang sebuah
kegiatan bersama.
Tanggal 6 Oktober 1970 diselenggarakan pertandingan sepakbola
persahabatan di lapangan sepakbola di tengah kampus ITB. Salah seorang
panitia penyelenggara pertandingan adalah mahasiswa ITB Teuku Lukman
Azis, putera seorang jenderal polisi yang menjabat Wakil Panglima
Angkatan Kepolisian, Teuku Azis.
Tim Taruna Akabri Kepolisian diungguli 2-0 oleh tim mahasiswa ITB. Tapi
yang paling tak bisa diterima para taruna ini ialah
‘kreativitas’supporter ITB. Mahasiswa Bandung, ITB khususnya, memang
dikenal paling ahli dalam bersupporter ria. Ungkapan-ungkapan mereka
lucu-lucu, tetapi sekaligus pedas dan mengkili-kili sampai ke ulu hati.
Bagi anak Bandung, gaya supportasi seperti itu hanyalah hal yang biasa
saja, tapi tidak bagi para taruna yang terbiasa dengan hirarki dan
disiplin gaya tentara.
Maka, terjadi lah bentrokan ketika provost-provost Taruna coba
menertibkan penonton dengan sabetan-sabetan koppel rim. Terjadi tawuran.
Dalam tawuran itu sudah terdengar berkali-kali suara tembakan. Para
taruna rupanya membawa senjata yang digunakan untuk melepaskan tembakan
ke atas. Tapi senjata-senjata itu berhasil direbut oleh beberapa Taruna
Akabri sendiri.
Setelah tawuran berhasil diredakan oleh para mahasiswa dan Resimen
Mahasiswa ITB dan provost taruna serta anggota Brimob yang bertugas di
sekitar kampus, para taruna digiring menaiki truk dan bus mereka untuk
meninggalkan kampus. Para mahasiswa lalu berpulangan. Ternyata para
taruna itu tidak langsung pulang. Mereka memang keluar dari halaman
kampus, namun kemudian berhenti di jalan Ganesha depan kantin Asrama F
mahasiswa ITB.
Pada petang yang naas itu, seorang mahasiswa ITB yang mungkin tidak tahu
insiden di lapangan sepakbola karena tidak menyaksikan sampai selesai
dan mengikuti suatu kegiatan lain di kampus yang luas itu, melintas
dengan sepeda motor Harley Davidson (HD), berboncengan dengan seorang
temannya, di samping truk dan bus para Taruna.
Ada yang meludah dari atas kendaraan dan mengenai Rene Louis Coenraad sang mahasiswa.
Yang disebut terakhir ini lalu berhenti dan menanyakan siapa yang meludahi dirinya, “kalau berani turun”.
Tapi yang diperolehnya adalah jawaban makian dan kemudian para taruna
berloncatan turun dari kendaraan lalu melakukan pengeroyokan atas diri
Rene.
Menurut kesaksian orang-orang yang ada di sekitar tempat itu, terlihat
jelas bagaimana Rene dihajar bagaikan bola oleh para taruna, ibarat
adegan koboi Itali yang banyak diputar di bioskop-bioskop waktu itu.
Beberapa mahasiswa yang berada di kejauhan menyaksikan penyiksaan atas
Rene dan kawan yang diboncengnya. Kalau sang kawan berhasil lolos, Rene
sebaliknya tidak bisa melepaskan diri, karena rupanya memang dia yang
dijadikan sasaran utama.
Ketika para mahasiswa mencoba mendekat mereka dihalangi oleh petugas P2U
(semacam polisi militer di lingkungan kepolisian) dan Brimob (Brigade
Mobil) bersenjata dengan sangkur terhunus, yang memblokkir gerbang
kampus.
Beberapa mahasiswa yang coba menerobos, telah dipukuli dan dipopor,
sehingga dua diantaranya luka dan terpaksa dibawa ke RS Borromeus yang
terletak di arah Timur kampus ITB.
Di depan asrama F penganiayaan atas diri Rene terus berlangsung di
tengah-tengah rentetan letusan senjata. Peluru-peluru tidak lagi
ditembakkan ke atas, melainkan dilakukan secara mendatar dan diarahkan
antara lain ke asrama mahasiswa ITB. Di dinding asrama terdapat deretan
lubang bekas peluru, slongsong peluru berserakan.
Rene tampak roboh di tengah hiruk pikuk. Waktu itu tidak diketahui kapan
persisnya ia terkena peluru. Namun menurut pemeriksaan kemudian,
diketahui bahwa peluru berasal dari arah atas, yang diperkirakan oleh
Mingguan Mahasiswa Indonesia berasal dari atas bus atau truk. Rene yang
bersimbah darah, roboh. Ternyata kemudian, ia tewas tak terselamatkan.
Seorang mahasiswa ITB bernama Ganti Brahmana, menyaksikan ada sesosok
tubuh yang diseret pada kedua belah tangannya dan kemudian dilemparkan
ke bagian belakang sebuah jip Toyota bernomor polisi 008-425 (semula
disangka jip Nissan). Itulah yang terakhir Rene terlihat di tempat
kejadian.
Setelah penembakan, tubuh korban –yang waktu itu belum diketahui masih
hidup atau sudah meninggal– hilang tak diketahui ke mana setelah dibawa
dengan jip. Maka para mahasiswa melakukan pencarian ke mana-mana, ke
berbagai rumah sakit yang ada di kota Bandung dan sekitarnya. Ganti
Brahmana, salah satu mahasiswa yang berinisiatif mencari Rene, segera
menemui AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi) Tjutju Sumirat pejabat
Komandan Kobes (Kota Besar) 86 Bandung yang kebetulan sedang berada di
kampus ITB. Bersama perwira polisi itu, Brahmana mencari dari satu rumah
sakit ke rumah sakit lainnya. Di Rumah Sakit Borromeus mereka hanya
menemukan dua mahasiswa yang luka karena terkena hajaran dalam insiden
di depan kampus tadi. Dengan lega, AKBP Tjutju Sumirat berkata “Ini kan
tidak apa-apa ? Cuma luka-luka saja….”. Tapi Brahmana yang sangat yakin
ada korban lain, karena ia menyaksikan adanya tubuh dibawa pergi dengan
jip, bersikeras melanjutkan pencarian dan mendesak perwira polisi
tersebut untuk mencari ke Kobes 86.
+ comments + 1 comments
Sejarah kelam kepolisian dulu.. berlanjut sampai sekarang, berubah modus atau rupa rivalitas dengan KPK contoh konkretnya. Kapan polisi mengoreksi dirinya, ataukah menunggu negara ini hancur
Post a Comment
Orang Keren habis baca pasti komen, setuju ?