Siapakah Anthony Reid ? Beliau adalah seorang Indonesianis terkemuka yang namanya bisa disejajarkan dengan Ben Anderson, William Liddie atau Herber Feith. Diantara sekian banyak Indonesianis bisa dikatakan Anthony Reid merupakan yang paling aktif menulis tentang sejarah republik ini. Study-nya yang banyak tentang revolusi negeri ini banyak dijadikan sebagai literatur oleh intelektualis negeri ini. Dan untuk kali ini akan dibahas salah satu tulisan beliau tentang revolusi sosial di Sumatera Timur yang terangkum dalam buku Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Sumatera.
Di Sumatera Timur pernah terjadi gerakan sosial yang merupakan gerakan dari kelompok yang bertujuan untuk mengubah, mengganti dan menghapus hal - hal yang kurang sesuai dengan tata sosial suatu masyarakat. Peristiwa tersebut digerakan oleh Persatuan Perjuangan atau Volksfront yang merupakan aliansi berbagai macam organisasi perjuangan di Sumatera timur. Sumatera Timur sendiri merupakan kampung halaman dari etnis Melayu, Batak Karo, dan Batak Simalungun wilayahnya terbentang dari perbatasan Aceh (Tamiang) hingga Siak.
Wilayah Sumatera Timur |
Tiga Kesultanan penting pernah ada di Sumatera Timur. Deli, Serdang, dan Langkat pernah mengalami masa kejayaan mereka dengan penompang ekonomi utama perkebunan Tembakau. Berkembangnya perekonomian di Sumatera Timur mengakibatkan perubahan sosial, budaya, dan politik yang sangat signifikan di wilayah ini. Migrasi besar – besaran terjadi di Sumatera Timur, mulai dari kuli – kuli perkebunan hingga para pedagang yang berdatangan dari dalam bahkan luar Indonesia. Heterogenitas penduduk yang terjadi di Sumatera Timur merupakan muara dari konflik yang akan terjadi kemudian, karena para pendatang ini memiliki kepentingan ekonomi dan politik yang berbeda dari penduduk asli.
Gerakan Sosial Maret 1946
Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa gerakan di Sumatera Timur bertujuan untuk mengubah tata sosial di daerah tersebut dimana gerakan tersebut digerakan oleh Volksfront yang pejabat terasnya adalah pemimpin – pemimpin dari Gerindo, PKI, dan PNI atau pemuda – pemuda radikan yang pro republik. Masa antara 1945 – 1947 merupakan masa-masa dimana jargon nasionalisme, anti feodalisme dan imperialisme sangat mudah ditemukan dimana – dimana di negara ini.
Pada masa pendudukan Jepang di negeri ini nasionalisme berkembang pesat, karena Jepang cukup toleran tentang sesuatu yang bersifat Indonesia. Setelah hengkangnya Jepang, terjadi kekosongan kekuasaan di Sumatera Timur, dimana kabar tentang proklamasi baru terdengar oktober. Keadaan yang mengambang ini menjadi celah untuk terjadinya pergolakan, tidak adanya pemimpin tunggal karena baik para sultan, pemimpin organisasi atau tokoh masyarakat merasa berhak atas kekuasaan.
Pada kondisi itu pula, terjadi polarisasi pendapat tentang nasib Sumatera Timur selanjutnya. Mulai muncul Opini di kalangan masyarakat bahwa belanda akan kembali dan bahkan sudah dibentuk panitia untuk penyambutannya yang diprakrasai oleh para Sultan. Datangnya sekutu menambah panas suasana dan suhu politik di Sumatera Timur. Hal ini karena keberpihakkan aristokrat Melayu kepada sekutu. Mereka memandang bahwa jatuhnya Jepang merupakan celah untuk kembali menjalankan pemerintah feodal-serta hak milik dan penghasilan perkebunan yang mereka terima sebelum perang. Hal ini membuat aristokrat Melayu semakin menjauhkan diri dari republik. Di pihak lain, dalam kubu pendukung republik terjadi perpecahan. Pihak moderat lebih mengutamakan pendekatan kooperatif untuk bisa membujuk aristokrat Melayu. Sedangkan pihak radikal lebih mengutamakan jalan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Pihak radikal banyak didukung oleh sebagian besar golongan pemuda.
3 Maret 1946 di Tanjung Balai Asahan telah berkumpul ribuan massa, mereka mendengar bahwa belanda akan kembali dan mendarat melalui Tanjung Balai. Namun kerumunan massa tersebut berhaluan arah mengepung istana sultan Asahan dan kemudian menyerbu istana tersebut. Hal – hal yang bersifat vandalistik seperti pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya terjadi karena kepincangan sistem, dendam, sakit hati, dan kebencian terhadap feodalisme yang mengakibatkan seluruh bangsawan melayu pria menjadi korban di keesokan harinya. Total 140 orang menjadi korban.
Amir Hamzah, Salah Satu Korban di Langkat |
Di Tanjung balai dan Tanjung Pasir, hari itu hampir seluruh bangsawan terbunuh. Seluruh Sumatera Timur benar – benar bergejolak. Di Simalungun, Raja Pane dan keluarga terbunuh, begitu pula yang terjadi di Tanah Karo dan Deli. Sedangkan untuk Serdang dan Langkat yang dalam sejarahnya anti belanda tidak terlalu dibenci masyarakat, dan juga mereka terlindungi karena ada markas TRI (Tentara Rakyat Indonesia) di perbaungan. Selain itu istana Sultan
Deli terlindung karena adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan sedangkan istana Langkat juga terlalu kuat untuk diserbu.
Post a Comment
Orang Keren habis baca pasti komen, setuju ?