iseng buka2 kompas, nemu artikel menarik nih tentang seorang bapak yang menurut gw sosoknya sangat inspiratif sekali.
langsung gw share disini aja deh dengan label spiritual, kali aja dari kalian belom ada yang baca.
---
Sebagian orang awalnya tak keberatan menjadi guru bagi anak berkebutuhan
khusus. Akan tetapi, saat menghadapi kondisi anak berkebutuhan khusus
dengan berbagai keterbatasan masing-masing, sebagian dari mereka memilih
mengundurkan diri. Namun, Alexander de Fretes, yang lebih dari 27 tahun
mengabdi sebagai guru bagi anak berkebutuhan khusus, tetap saja merasa
ada yang kurang dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Saya merasa belum sukses, masih banyak yang perlu dilakukan untuk membuat mereka mandiri,” kata Fretes, panggilan pendidik pada Pendidikan Luar Biasa Asuhan Kasih, Kupang, Nusa Tenggara Timur, ini.
Fretes, yang juga pendiri dan pemilik Yayasan Asuhan Kasih, memang memilih fokus pada pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK). Ada empat kategori ABK pada tingkat SD, SMP, dan SMA Asuhan Kasih, yakni tunanetra, tunarungu, tunagrahita (seperti lambat belajar, lambat bicara, hiperaktif, autis, dan sindrom down), serta tunadaksa.
SDLB, SMPLB, dan SMALB itu didirikan tahun 1985 di atas lahan yang merupakan hibah dari Pemerintah Kota Kupang. Pemerintah juga membantu sejumlah kebutuhan bagi proses pendidikan di lembaga itu, termasuk bagi 40 anak yang tinggal di asrama. Tak ada iuran tertentu yang dikenakan kepada orangtua ABK.
Fretes berasal dari Kisar, Maluku. Ia lulus dari sebuah sekolah guru pendidikan luar biasa di Bandung, Jawa Barat, tahun 1969. Tahun 1970 dia membuka pendidikan khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus di rumahnya di Kupang. Sekolah itu beroperasi sampai tahun 1974.
Sekolah bagi siswa ABK itu kemudian dipindah setelah Fretes memperoleh satu ruangan khusus pada Sekolah Kepandaian Putri di Kupang tahun 1975.
Tahun 1984, dengan dukungan dana Rp 100 juta dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Fretes bisa membangun lembaga pendidikan khusus bagi ABK di NTT. Ketika itu belum ada SD, apalagi sekolah menengah luar biasa di NTT.
”Bulan Januari 1985 kami menerima 24 ABK di gedung ini, dengan empat kategori tersebut. Mereka berasal dari 15 kabupaten di NTT. Dari 24 siswa binaan ini, satu orang di antaranya telah menjadi guru di sekolah ini. Dia anak tunadaksa, kaki dan tangannya tidak normal. Tetapi, dia berhasil lulus dari Universitas PGRI Kupang,” ujar Fretes bangga.
Ditolak
Selama 27 tahun bekerja lewat lembaga Asuhan Kasih, Fretes telah membantu sekitar 7.000 ABK. Dari jumlah itu, 45 persen atau 3.150 siswa berhasil menjadi manusia mandiri. Namun, Fretes merasa apa yang dia lakukan belum maksimal.
Pasalnya, banyak kantor pemerintahan dan swasta yang masih menolak calon pekerja dengan status berkebutuhan khusus. Biasanya, begitu pihak perusahaan atau instansi melihat penampilan calon karyawan dengan kebutuhan khusus, mereka langsung menolaknya.
Meski orang dengan kebutuhan khusus telah mengantongi ijazah pendidikannya, begitu melihat yang menerbitkan ijazah pelamar itu adalah sekolah luar biasa, instansi atau perusahaan tersebut pun menolak.
”Saya tidak menuntut mereka (orang berkebutuhan khusus) menjadi orang hebat dalam masyarakat. Mereka bisa hidup mandiri, tidak bergantung pada orang sekitarnya, saja saya sudah senang. Kemandirian itu membuat mereka tidak menjadi beban bagi orang lain atau keluarganya,” kata Fretes.
Untuk memandirikan siswa, ia bersama para guru membantu ABK agar setidaknya bisa menghidupi diri sendiri. Mereka diberi pelatihan, seperti menjahit, kerja perkayuan, dan membuat sofa, jok mobil, kerajinan tenun ikat, kerajinan bambu, batako, tikar lontar, sampai membuat alat musik sasando.
”Hasil karya mereka dipamerkan pada 17 Agustus di pusat pameran Fatuleu, Kupang. Ada pula yang kami titipkan di sejumlah toko untuk dijual,” kata Fretes yang sekolahnya kini menampung 162 siswa, 40 di antaranya tinggal di asrama.
Mereka yang tinggal di asrama umumnya berasal dari luar Kupang, seperti Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Kupang. ”Mereka berasal dari keluarga tak mampu, jadi pihak sekolah tidak memungut biaya pendidikan,” ujarnya.
Pelatihan untuk guru
Dalam mengelola sekolah itu, Fretes dibantu 21 guru. Sebanyak 5 guru di antaranya berlatar pendidikan sekolah luar biasa, sedangkan 16 guru lainnya berpendidikan guru umum. Semua guru itu diberi pembinaan atau pelatihan terlebih dahulu sebelum mengajar.
Pelatihan itu penting sebagai bekal bagi guru untuk mengajar ABK. Sebab, menurut Fretes, ada kecenderungan sebagian guru memperlakukan ABK layaknya siswa di sekolah umum. Padahal, di sini siswa memerlukan pengertian dan kesabaran dari guru.
”Sudah puluhan guru yang dikirim dari kabupaten untuk mengikuti pelatihan mendampingi anak berkebutuhan khusus di sekolah ini. Tetapi, jarang sekali yang mau dan bisa bertahan. Mereka minta pulang lebih awal, bahkan dari jadwal dua pekan yang disediakan. Mereka tak cukup sabar mengajar siswa berkebutuhan khusus di sini,” ujarnya.
Sebagian guru mengaku merasa khawatir kalau mereka tak cukup sabar mengajari siswa berkebutuhan khusus.
”Masih ada anggapan negatif di kalangan masyarakat, semacam hukum karma, bila kita marah, emosi, jengkel, atau menertawakan siswa berkebutuhan khusus, kita pun bakal mendapat anak seperti itu,” katanya.
Namun, Fretes mengatakan, guru bagi siswa berkebutuhan khusus memang harus memiliki ”panggilan untuk mengabdi”. Dalam mendidik ABK, diperlukan pendekatan kasih sayang dan pengorbanan dari guru.
”Sekolah luar biasa ini tidak butuh guru-guru berkategori pintar, tetapi bagaimana semua pengetahuan yang mereka miliki terfokus pada unsur kasih sayang demi kemandirian ABK,” ujar Fretes.
Lulusan Lembaga Pendidikan Asuhan Kasih mendapat ijazah khusus sebab materi pelajaran yang diberikan di sini berbeda dengan sekolah umum. ”Kami berusaha menyampaikan pelajaran sesederhana mungkin tanpa mengganggu emosi atau keterbatasan mereka,” katanya.
”Pendidikan berlangsung secara umum di dalam kelas. Tetapi, jika ada siswa yang mampu lebih berkembang atau sebaliknya dan memerlukan pendampingan khusus, kami usahakan memenuhinya,” kata pria yang seakan tidak kenal kata putus harapan ini.
Saya merasa belum sukses, masih banyak yang perlu dilakukan untuk membuat mereka mandiri,” kata Fretes, panggilan pendidik pada Pendidikan Luar Biasa Asuhan Kasih, Kupang, Nusa Tenggara Timur, ini.
Fretes, yang juga pendiri dan pemilik Yayasan Asuhan Kasih, memang memilih fokus pada pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK). Ada empat kategori ABK pada tingkat SD, SMP, dan SMA Asuhan Kasih, yakni tunanetra, tunarungu, tunagrahita (seperti lambat belajar, lambat bicara, hiperaktif, autis, dan sindrom down), serta tunadaksa.
SDLB, SMPLB, dan SMALB itu didirikan tahun 1985 di atas lahan yang merupakan hibah dari Pemerintah Kota Kupang. Pemerintah juga membantu sejumlah kebutuhan bagi proses pendidikan di lembaga itu, termasuk bagi 40 anak yang tinggal di asrama. Tak ada iuran tertentu yang dikenakan kepada orangtua ABK.
Fretes berasal dari Kisar, Maluku. Ia lulus dari sebuah sekolah guru pendidikan luar biasa di Bandung, Jawa Barat, tahun 1969. Tahun 1970 dia membuka pendidikan khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus di rumahnya di Kupang. Sekolah itu beroperasi sampai tahun 1974.
Sekolah bagi siswa ABK itu kemudian dipindah setelah Fretes memperoleh satu ruangan khusus pada Sekolah Kepandaian Putri di Kupang tahun 1975.
Tahun 1984, dengan dukungan dana Rp 100 juta dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Fretes bisa membangun lembaga pendidikan khusus bagi ABK di NTT. Ketika itu belum ada SD, apalagi sekolah menengah luar biasa di NTT.
”Bulan Januari 1985 kami menerima 24 ABK di gedung ini, dengan empat kategori tersebut. Mereka berasal dari 15 kabupaten di NTT. Dari 24 siswa binaan ini, satu orang di antaranya telah menjadi guru di sekolah ini. Dia anak tunadaksa, kaki dan tangannya tidak normal. Tetapi, dia berhasil lulus dari Universitas PGRI Kupang,” ujar Fretes bangga.
Ditolak
Selama 27 tahun bekerja lewat lembaga Asuhan Kasih, Fretes telah membantu sekitar 7.000 ABK. Dari jumlah itu, 45 persen atau 3.150 siswa berhasil menjadi manusia mandiri. Namun, Fretes merasa apa yang dia lakukan belum maksimal.
Pasalnya, banyak kantor pemerintahan dan swasta yang masih menolak calon pekerja dengan status berkebutuhan khusus. Biasanya, begitu pihak perusahaan atau instansi melihat penampilan calon karyawan dengan kebutuhan khusus, mereka langsung menolaknya.
Meski orang dengan kebutuhan khusus telah mengantongi ijazah pendidikannya, begitu melihat yang menerbitkan ijazah pelamar itu adalah sekolah luar biasa, instansi atau perusahaan tersebut pun menolak.
”Saya tidak menuntut mereka (orang berkebutuhan khusus) menjadi orang hebat dalam masyarakat. Mereka bisa hidup mandiri, tidak bergantung pada orang sekitarnya, saja saya sudah senang. Kemandirian itu membuat mereka tidak menjadi beban bagi orang lain atau keluarganya,” kata Fretes.
Untuk memandirikan siswa, ia bersama para guru membantu ABK agar setidaknya bisa menghidupi diri sendiri. Mereka diberi pelatihan, seperti menjahit, kerja perkayuan, dan membuat sofa, jok mobil, kerajinan tenun ikat, kerajinan bambu, batako, tikar lontar, sampai membuat alat musik sasando.
”Hasil karya mereka dipamerkan pada 17 Agustus di pusat pameran Fatuleu, Kupang. Ada pula yang kami titipkan di sejumlah toko untuk dijual,” kata Fretes yang sekolahnya kini menampung 162 siswa, 40 di antaranya tinggal di asrama.
Mereka yang tinggal di asrama umumnya berasal dari luar Kupang, seperti Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Kupang. ”Mereka berasal dari keluarga tak mampu, jadi pihak sekolah tidak memungut biaya pendidikan,” ujarnya.
Pelatihan untuk guru
Dalam mengelola sekolah itu, Fretes dibantu 21 guru. Sebanyak 5 guru di antaranya berlatar pendidikan sekolah luar biasa, sedangkan 16 guru lainnya berpendidikan guru umum. Semua guru itu diberi pembinaan atau pelatihan terlebih dahulu sebelum mengajar.
Pelatihan itu penting sebagai bekal bagi guru untuk mengajar ABK. Sebab, menurut Fretes, ada kecenderungan sebagian guru memperlakukan ABK layaknya siswa di sekolah umum. Padahal, di sini siswa memerlukan pengertian dan kesabaran dari guru.
”Sudah puluhan guru yang dikirim dari kabupaten untuk mengikuti pelatihan mendampingi anak berkebutuhan khusus di sekolah ini. Tetapi, jarang sekali yang mau dan bisa bertahan. Mereka minta pulang lebih awal, bahkan dari jadwal dua pekan yang disediakan. Mereka tak cukup sabar mengajar siswa berkebutuhan khusus di sini,” ujarnya.
Sebagian guru mengaku merasa khawatir kalau mereka tak cukup sabar mengajari siswa berkebutuhan khusus.
”Masih ada anggapan negatif di kalangan masyarakat, semacam hukum karma, bila kita marah, emosi, jengkel, atau menertawakan siswa berkebutuhan khusus, kita pun bakal mendapat anak seperti itu,” katanya.
Namun, Fretes mengatakan, guru bagi siswa berkebutuhan khusus memang harus memiliki ”panggilan untuk mengabdi”. Dalam mendidik ABK, diperlukan pendekatan kasih sayang dan pengorbanan dari guru.
”Sekolah luar biasa ini tidak butuh guru-guru berkategori pintar, tetapi bagaimana semua pengetahuan yang mereka miliki terfokus pada unsur kasih sayang demi kemandirian ABK,” ujar Fretes.
Lulusan Lembaga Pendidikan Asuhan Kasih mendapat ijazah khusus sebab materi pelajaran yang diberikan di sini berbeda dengan sekolah umum. ”Kami berusaha menyampaikan pelajaran sesederhana mungkin tanpa mengganggu emosi atau keterbatasan mereka,” katanya.
”Pendidikan berlangsung secara umum di dalam kelas. Tetapi, jika ada siswa yang mampu lebih berkembang atau sebaliknya dan memerlukan pendampingan khusus, kami usahakan memenuhinya,” kata pria yang seakan tidak kenal kata putus harapan ini.
Sumber : Kompas
Post a Comment
Orang Keren habis baca pasti komen, setuju ?