SOEKARNO, Demokratis atau Diktator ?
Written By Unknown on Tuesday, January 1, 2013 | 8:36 AM
TIDAK
Sejak proklamasi kemerdekaan 1945, selama limabelas tahun Soekarno praktis cuma Presiden simbolis. Sampai 1959 pemerintahan ganti-berganti berada di tangan orang-orang sealiran dengan Hatta-Syahrir atau para soekarnois yang harus berkompromi dengan partai Masyumi dan PSI. Soekarno baru bisa dikatakan "berkuasa" hanya enam tahun terakhir sejak diumumkan "Demokrasi Terpimpin" bulan Juli 1959. Itu pun cuma kekuasaan formal karena paralel di samping kekuasaan Soekarno, dari pusat sampai ke daerah berjalan kekuasaan Angaktan Darat yang masif, rëel dan efektif dengan senjata di tangan. Militerlah yang menjalankan kekuasaan dengan menggonceng pada wibawa Soekarno, termasuk melancarkan penangkapan-penangkapan
politik dengan legalites SOB. Mereka melakukan berbagai pengekangan kebebasan politik semua atas nama Soekarno. Selanjutnya mereka melancarkan berbagai manuver politik seperti misalnya memanfaatkan (kalau tidak mau disebut menciptakan) Manikebu, BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme), dan menunggangi konsep Soekarno tentang "golongan fungsional".
Kelompok militer Angkatan Darat yang merongrong Soekarno itu jugalah kemudian berkuasa leluasa dijaman "Orde Baru" tanpa ada penghalang apa-apa lagi. Angkatan Darat telah berhasil menunaikan "tugas internasionalnya" menegakkan paradigma McCarthy di Indonesia dengan tuntas dan gemilang, menghancurkan PKI dan menggésér Soekarno dari pentas sejarah. Sejak 17 Oktober 1952 sampai 1965 Angkatan Darat bermain di bawah-bawah, menyusup dan menyatu dengan kekuatanprogresif-revolusioner, di era Orde Baru watak asli sesungguhnya kekuasaan militer barulah muncul telanjang bulat di permukaan dengan mitra sipilnya Golongan Karya.
Lagipula Soekarno tidak punya bakat sama sekali untuk jadi diktator. Untuk itu
dia harus tidak punya hati nurani, harus tega mampu membunuh dan memenjarakan rakyatnya sendiri sebagaimana didemonstrasikan oleh jendral Soeharto selama tigapuluh tahun kekuasaannya. Tetapi Soeharto itulah yang oleh Dunia Barat dianggap telah berhasil "mengkoreksi total otoriterisme Soekarno" kembali ke "jalan benar", kejalan demokrasi yang dainggap benar oleh Barat.
Soekarno sebagai pemimpin yang paling mengerti rakyatnya, secara sadar menolak mendjiplak mentah-mentah demokrasi Barat walaupun otaknya penuh berisi ide-ide sosial-demokrasi, Aufklärung dan berbagai konsep sosial revolusi Perancis, revolusi Amerika sampai pada perjuangan Willem van Oranje melawan Spanyol. Dia sepenuhnya diilhami konsep-konsep Barat, tetapi dia berdiri kukuh dengan kedua kakinya di bumi tanah-airnya. Dari pengalaman langsung yang dia rasakan pada badannya sendiri, dia tahu betul bahwa menuntut reform sosial, membela rakyat tertindas dalam sistem demokrasi Barat, pada ujung-ujungnya selalu rakyat akan berada di pihak yang kalah. Maka dia kembangkan ide yang berasal dari Ki Hadjar Dewantoro "democratie met leiderschap" (demokrasi terpimpin), dan kita semua tahu bahwa Demokrasi Terpimpin Soekarno dalam masa balita-nya sudah dibantai berdarah pada tahun 1965.
Demokrasi Terpimpin tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk membuktikan bahwa gagasan itu bermanfaat dan diperlukan bagi rakyat yang ingin memperbaiki nasibnya sendiri. Di dunia Barat, demokrasi berkesempatan diuji (disosialisasi) seabad lebih sebelum dia sampai menjadi sistem mapan yang kita kenal sekarang ini. Soekarno dengan eksperimen demokrasinya yang cuma sempat berjalan lima tahun.
YA
Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang emperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.
ukarno yang sudah dihinggapi sifat anti-demokrasi jelas tidak bisa menerima sepenuh hati perjuangan menegakkan demokrasi. Praktek demokrasi parlementer diawal kemerdekaan yang dipenuhi aspirasi masyarakat dihapuskannya begitu saja dengan tudingan telah menjiplak demokrasi borjuis. Akibatnya, kekecewaan terhadap Sukarno memuncak menjadi pemberontakan. Apalagi sikap kekiri-kiriannya yang kental telah menjadikan Sukarno hendak membangun aliansi internasional dengan negara-negara komunis (Cina dan Uni Sovyet). Sesudah kunjungannya ke Cina ditahun 1956, Sukarno tampak sangat mengagumi Mao Tse Tung, dan terutama Chou En Lai. Sedangkan hubungannya dengan Hatta makin menjauh. Dalam sebuah kesempatan bertemu dengan dubes AS Hugh S. Cumming 27 Februari 1957, Hatta menceritakan kekurang-pahaman Sukarno dalam mencermati perkembangan demokrasi parlementer.
Sukarno yang awalnya sangat akrab dengan Mohammad Natsir, tokoh Masyumi, mendadak berubah sesudah terjadi perbedaan pandangan politik. Sukarno membangun opini politis yang menyebutkan bahwa gagasan mendirikan "negara" Islam jauh lebih berbahaya daripada sebuah rezim komunis. Opini bertambah kencang dihembuskan saat dikait-kaitkan dengan kelompok DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Tanpa ada upaya untuk memahami latar-belakang terjadinya pemberontakan tersebut, yang sebenarnya merupakan reaksi atas perjanjian Renville Januari 1948. Dimana perjanjian itu telah memperbolehkan tentara Belanda kembali masuk kedalam wilayah Jawa Barat.
Begitupula dengan pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tengku Daud Beureu'eh di Banda Aceh, yang sesungguhnya merupakan reaksi atas sikap-sikap arogan dan anti-demokrasi dari Sukarno. Namun, kelihaian berpolitik kelompok Sukarno justru membalik fakta dan menciptakan citra buruk atas pemberontakan diatas.
Poros Jakarta-Pyongyang-Peking yang dibangun saat Sukarno sangat akrab dengan PKI telah menjadikan posisi Indonesia makin terpencil dari dunia internasional. Sembari menindas kekuatan demokrasi, Sukarno memprakarsai demokrasi terpimpin (1959-1965) yang sangat jelas merupakan kediktatoran. Untuk mengabadikan kekuasaannya, Sukarno banyak memproduksi simbol-simbol Jawa agar bisa diterima oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Sedangkan hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga juga mengalami kemunduran dengan dicetuskannya "ganyang Malaysia".
Sukarno mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah dalam negeri dengan mencari musuh di luar-negeri. Berbagai slogan dan propaganda politik diproduksi hanya semata untuk memenuhi hajat Sukarno berkuasa. Mobilisasi massa dikerahkan untuk dikirim sebagai sukarelawan/sukarelawati menghadapi satuan-satuan tempur elit Inggris (SAS) di Kalimantan Utara. Bahkan untuk memobilisasi sukarelawati menggayang Malaysia, Sukarno perlu mengeluarkan Kepres tahun 1964 yang menjadikan Kartini sebagai sosok wanita pejuang Indonesia. Ribuan nyawa melayang hanya untuk menjadi korban ambisi politik Sukarno. Bahan-bahan indoktrinasi dari Sukarno telah melahirkan sebuah ajaran baru selain Marhaenisme. Yaitu Sukarnoisme, yang merupakan ajaran bersumber dari pemikiran-pemikiran Sukarno.
Sukarnoisme banyak diminati oleh mereka yang terpesona pada kharisma Bung Karno (BK), selain juga ada yang mempelajarinya diluar konteks keterpesonaan tersebut. Bung Karno sendiri memang sosok besar dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, sehingga wajar jika dia ditempatkan dalam sejarah sebagai proklamator dan sering dipuja. Tapi, kelompok Soekarnois telah sangat mengkultuskan sosok Soekarno hingga sangat tidak wajar sehingga cenderung kurang obyektif. Ajaran Soekarno disebarkan sembari memberangus prosedur demokrasi.
Di antara ajaran Sukarno yang menyangkut masalah sosial-politik dan sosio-ekonomi yang nampak sangat kuat berada didalam Manipol USDEK (Manifesto Politik Undang-Undang Dasar '45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia), yang pada dekade '60-an menjadi bahan indoktrinasi pada masyarakat. Arahan-arahan yang dikandung dalam Sukarnoisme lalu dikembangkan sedemikian rupa oleh orang-orang dekat BK, demi kepentingan tertentu. Sehingga rakyat dihipnotis mengikuti apa yang diutarakan oleh Sukarno. Berbagai mitos-mitos bersifat politis diciptakan pula demi tetap mengabadikan kekuasaannya. Baik langsung maupun tidak langsung, banyak orang-orang yang kagum pada Sukarno lalu mendewa-dewakannya.
Kehadiran Sukarno diidentikkan dengan kehadiran Ratu Adil yang berjanji akan membawa rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemakmuran dan kesejahteraan. Mitos lain menyebutkan adanya hubungan Sukarno kepada para leluhur masa lalu yang juga telah memegang kekuasaan. Semuanya itu bertujuan untuk tetap mengabadikan Sukarno sebagai lambang kekuasaan tunggal di Indonesia. Pemitosan Sukarno jelas kemudian sangat menguntungkan para politisi di sekitarnya.
Sumber : http://www.kaskus.co.id/showpost.php?p=214432315&postcount=6
Labels:
Sejarah
+ comments + 1 comments
Makasih banyak gan
Post a Comment
Orang Keren habis baca pasti komen, setuju ?