ini adalah sebuah tulisan yang ditulis oleh teman saya, dan saya copas dsini agar bisa dibaca khalayak ramai...menurut saya tulisan ini sangat menarik, terutama untuk membuka pikiran mereka yang selalu dikekang oleh dogma agama.
cukup menarik untuk dibaca, silahkan :)
menurut saya, agama itu sebenarnya pelembagaan dari iman... hanya kemasan, kulit lahir... tapi tetap dibutuhkan... karena manusia tidak mungkin lepas dari unsur zahir... ada istilah dari daging dalam Kekristenan... dan itu manusiawi... seandainya anda mencintai seseorang dalam hati, maka yang dicintai tidak akan puas sebelum anda nyatakan dengan jelas dengan mulut anda, dengan sikap dan perbuatan anda padanya... dan itu manusiawi... karena manusia itu adalah kondisi non-obyektif dan obyektif, spirit dan materi, roh dan tubuh... jika salah satu hilang, anda bisa berubah menjadi benda mati, mungkin seperti orang gila...
jadi agama itu nyaris tak terelakkan dalam penubuhan iman dalam praktek hidup sehari-hari... secara gamblang, iman itu kan sebenernya percaya pada adanya sebuah Misteri dibalik Jagat Raya ini (mistika)... ada sesuatu yang melebihi segalanya, Sesuatu yang Absolut, Being, Prima Causa, ya kita istilahkan dengan Tuhan!!... bagian ini merupakan penghayatan secara pribadi, sebuah dimensi spiritual, batin, ke dalam hati (istilah yang mengacu pada "berpikir di luar pikiran sendiri"), semakin mendalam... karena itu bersifat privasi... tidak ada yang bisa mengusiknya, tidak ada yang bisa mengganggu gugat... tidak ada siapa pun yang bisa mengatur apalagi melarang kepercayaan orang lain...
itu secara vertikal...
dan secara horizontal, ada nilai-nilai moral universal, seperti misalnyarasa saling menghargai, tolong menolong, saling kasih-mengasihi, dan saling berlaku adil... berbeda dengan yang di atas, bagian ini merupakan iman dalam dimensi sosial, kemasyarakatan, interaksi antar sesama manusia... pernyataan iman di bagian ini memang bisa dilihat... karena tidak mungkin anda disebut beriman secara sosial jika pekerjaan anda menyakiti orang, membunuh orang, merampas istri orang dan seterusnya...
istilah dalam Islam disebut Hablum Minallah dan Hablum Minannas...
nah, kembali ke persoalan esensi... karena esensi itu baru bersifat spiritual, substansi, isi, maka untuk menuntun manusia agar bisa terarah ke arah itu, maka dikemaslah dalam bentuk tata cara... sebuah manual atau tutorial yang membantu iman itu bisa terwujud dan melekat dalam diri manusia... nah, di situlah agama mengambil peran... karena agama itu zahir, sebuah penubuhan, pelembagaan, maka bentuknya bisa berbeda-beda...
sebagai contoh, saya menyatakan cinta saya pada seseorang lewat bunga... tapi anda mungkin lewat sepucuk surat... meskipun yang kita berikan berbeda dan kepada orang yang berbeda pula, tapi inti yang kita rasakan sama... yaitu rasa mencintai...
nah, begitulah ibaratnya agama... perwujudan dari nilai-nilai iman... karena itu sehubungan dengan ini, iman itu universal, sedangkan agama itu parsial, bisa berbeda.... tergantung waktu dan tempat... tergantung budaya dimana manusia berada....
apa nyambungnya ke judul di atas?
nah di situlah saya mengawalinya.. suatu kali saat saya pulang kampung, di perjalanan, saya dengan ibu saya sedang berada di suatu area pepohonan yang luas dan sudah masuk waktu shalat Maghrib... nah, sewaktu mau sholat kami tidak tahu arah kiblat.... matahari sudah tenggelam, hanya cahaya petang yang menyinari kami... tidak ada masjid di sekitar itu, dan kami juga tidak membawa kompas... jadi, kami tidak tahu patokan (kiblat) shalat sebagaimana yang dijelaskan dalam agama....
akhirnya, ibu saya ingin menanyakan pada penduduk di sekitar situ, tapi jaraknya dari lokasi itu sangat jauh dan agak gelap... tentu saja bila kami lanjutkan perjalanan, SPBU terdekat pun masih puluhan kilo dan saya pun tidak mau memaksakan harus mencari masjid sampai ketemu, karena waktu maghrib amat pendek... saya sarankan pada ibu saya agar kami menghadap kemana saja untuk shalat... saya katakan bukankah Tuhan itu tidak berada di kiblat dan toch kiblat itu hanya patokan saja.... Tuhan ada di mana-mana (An-Nur: 84) dan lebih dekat dari urat leher kita sendiri (Qaf: 16)... kemana pun kita menghadap, di situ ada wajah Tuhan, di situlah Allah (Al-Baqarah: 115)... yang penting niat kita kan tetap menyembah pada-Nya, God The Almighty...
dan akhirnya ibu saya setuju...
secara otomatis kami telah meninggalkan agama, sebagaimana batasan atau definisi dari di atas... ya, jika anda berpikir agama itu kemapanan, dogmatika, itu yang saya maksud... melepas agama berarti melepaskan diri dari kungkungan dogma, menghancurkan tembok penghalang menuju Allah, meninggalkan penindasan akal budi.... atau secara epistemologi, zahirnya agama adalah penindasan dan penindasan harus kita lawan....
nah, kemudian secara horizontal?
suatu kali saya pernah akan pergi ke pesta perkawinan dengan ibu saya lagi... nah, sudah menjadi tradisi kita kalau ada acara hajatan, kita membawa kado atau amplop, sebagai wujud kepeduliaan dan rasa turut bersuka cita secara sosial... nah, kebetulan waktu ibu saya tidak bisa membeli kado... memberi amplop pun dirasa kurang cukup dengan nominal uang yang kecil, ATM ibu saya pun tinggal sedikit...
nah, ibu saya ingin meminjam uang pada tetangga, tapi saya menolaknya... saya katakan kenapa kita harus memaksakan diri bila memang tidak ada... apa salahnya kita tetap pergi tanpa membawa apa-apa?? toch kita sudah membawa rasa kepeduliaan kita untuk melawat ke sana, justru yang menikah itulah yang butuh doa-doa kita supaya langgeng pernikahan mereka...
nah, dari dua contoh sederhana di atas, kita telah melepaskan dogmatika yang mengekang kita... contoh yang pertama iman secara vertikal, yaitu shalat (asketik)... sedang contoh kedua adalah secara horizontal, yaitu dalam hubungan sosial dengan sesama manusia, yaitu rasa saling peduli, saling kasih mengasihi, dan silaturrahim...
seandainya saya ngotot dalam dua kondisi di atas untuk memenuhi tuntutan lahir dari iman (dalam bentuk agamanya, dalam bentuk zahir), maka jujur saya justru akan menjadi rusak alias tidak akan merasa bahagia...
apakah saya sesat? bid'ah? kafir?
bukan anda yang menilai, tapi Tuhan... jangan berlagak seperti Tuhan atau merasa menjadi Tuhan dengan menghakimi dan menjustifikasi saya sebagai kafir, dengan membawa setumpuk kitab-kitab.... jika demikian, anda sama saja seperti keledai yang membawa banyak kitab (Al-Jumu'ah: 5)....
cukup menarik untuk dibaca, silahkan :)
menurut saya, agama itu sebenarnya pelembagaan dari iman... hanya kemasan, kulit lahir... tapi tetap dibutuhkan... karena manusia tidak mungkin lepas dari unsur zahir... ada istilah dari daging dalam Kekristenan... dan itu manusiawi... seandainya anda mencintai seseorang dalam hati, maka yang dicintai tidak akan puas sebelum anda nyatakan dengan jelas dengan mulut anda, dengan sikap dan perbuatan anda padanya... dan itu manusiawi... karena manusia itu adalah kondisi non-obyektif dan obyektif, spirit dan materi, roh dan tubuh... jika salah satu hilang, anda bisa berubah menjadi benda mati, mungkin seperti orang gila...
jadi agama itu nyaris tak terelakkan dalam penubuhan iman dalam praktek hidup sehari-hari... secara gamblang, iman itu kan sebenernya percaya pada adanya sebuah Misteri dibalik Jagat Raya ini (mistika)... ada sesuatu yang melebihi segalanya, Sesuatu yang Absolut, Being, Prima Causa, ya kita istilahkan dengan Tuhan!!... bagian ini merupakan penghayatan secara pribadi, sebuah dimensi spiritual, batin, ke dalam hati (istilah yang mengacu pada "berpikir di luar pikiran sendiri"), semakin mendalam... karena itu bersifat privasi... tidak ada yang bisa mengusiknya, tidak ada yang bisa mengganggu gugat... tidak ada siapa pun yang bisa mengatur apalagi melarang kepercayaan orang lain...
itu secara vertikal...
dan secara horizontal, ada nilai-nilai moral universal, seperti misalnyarasa saling menghargai, tolong menolong, saling kasih-mengasihi, dan saling berlaku adil... berbeda dengan yang di atas, bagian ini merupakan iman dalam dimensi sosial, kemasyarakatan, interaksi antar sesama manusia... pernyataan iman di bagian ini memang bisa dilihat... karena tidak mungkin anda disebut beriman secara sosial jika pekerjaan anda menyakiti orang, membunuh orang, merampas istri orang dan seterusnya...
istilah dalam Islam disebut Hablum Minallah dan Hablum Minannas...
nah, kembali ke persoalan esensi... karena esensi itu baru bersifat spiritual, substansi, isi, maka untuk menuntun manusia agar bisa terarah ke arah itu, maka dikemaslah dalam bentuk tata cara... sebuah manual atau tutorial yang membantu iman itu bisa terwujud dan melekat dalam diri manusia... nah, di situlah agama mengambil peran... karena agama itu zahir, sebuah penubuhan, pelembagaan, maka bentuknya bisa berbeda-beda...
sebagai contoh, saya menyatakan cinta saya pada seseorang lewat bunga... tapi anda mungkin lewat sepucuk surat... meskipun yang kita berikan berbeda dan kepada orang yang berbeda pula, tapi inti yang kita rasakan sama... yaitu rasa mencintai...
nah, begitulah ibaratnya agama... perwujudan dari nilai-nilai iman... karena itu sehubungan dengan ini, iman itu universal, sedangkan agama itu parsial, bisa berbeda.... tergantung waktu dan tempat... tergantung budaya dimana manusia berada....
apa nyambungnya ke judul di atas?
nah di situlah saya mengawalinya.. suatu kali saat saya pulang kampung, di perjalanan, saya dengan ibu saya sedang berada di suatu area pepohonan yang luas dan sudah masuk waktu shalat Maghrib... nah, sewaktu mau sholat kami tidak tahu arah kiblat.... matahari sudah tenggelam, hanya cahaya petang yang menyinari kami... tidak ada masjid di sekitar itu, dan kami juga tidak membawa kompas... jadi, kami tidak tahu patokan (kiblat) shalat sebagaimana yang dijelaskan dalam agama....
akhirnya, ibu saya ingin menanyakan pada penduduk di sekitar situ, tapi jaraknya dari lokasi itu sangat jauh dan agak gelap... tentu saja bila kami lanjutkan perjalanan, SPBU terdekat pun masih puluhan kilo dan saya pun tidak mau memaksakan harus mencari masjid sampai ketemu, karena waktu maghrib amat pendek... saya sarankan pada ibu saya agar kami menghadap kemana saja untuk shalat... saya katakan bukankah Tuhan itu tidak berada di kiblat dan toch kiblat itu hanya patokan saja.... Tuhan ada di mana-mana (An-Nur: 84) dan lebih dekat dari urat leher kita sendiri (Qaf: 16)... kemana pun kita menghadap, di situ ada wajah Tuhan, di situlah Allah (Al-Baqarah: 115)... yang penting niat kita kan tetap menyembah pada-Nya, God The Almighty...
dan akhirnya ibu saya setuju...
secara otomatis kami telah meninggalkan agama, sebagaimana batasan atau definisi dari di atas... ya, jika anda berpikir agama itu kemapanan, dogmatika, itu yang saya maksud... melepas agama berarti melepaskan diri dari kungkungan dogma, menghancurkan tembok penghalang menuju Allah, meninggalkan penindasan akal budi.... atau secara epistemologi, zahirnya agama adalah penindasan dan penindasan harus kita lawan....
nah, kemudian secara horizontal?
suatu kali saya pernah akan pergi ke pesta perkawinan dengan ibu saya lagi... nah, sudah menjadi tradisi kita kalau ada acara hajatan, kita membawa kado atau amplop, sebagai wujud kepeduliaan dan rasa turut bersuka cita secara sosial... nah, kebetulan waktu ibu saya tidak bisa membeli kado... memberi amplop pun dirasa kurang cukup dengan nominal uang yang kecil, ATM ibu saya pun tinggal sedikit...
nah, ibu saya ingin meminjam uang pada tetangga, tapi saya menolaknya... saya katakan kenapa kita harus memaksakan diri bila memang tidak ada... apa salahnya kita tetap pergi tanpa membawa apa-apa?? toch kita sudah membawa rasa kepeduliaan kita untuk melawat ke sana, justru yang menikah itulah yang butuh doa-doa kita supaya langgeng pernikahan mereka...
nah, dari dua contoh sederhana di atas, kita telah melepaskan dogmatika yang mengekang kita... contoh yang pertama iman secara vertikal, yaitu shalat (asketik)... sedang contoh kedua adalah secara horizontal, yaitu dalam hubungan sosial dengan sesama manusia, yaitu rasa saling peduli, saling kasih mengasihi, dan silaturrahim...
seandainya saya ngotot dalam dua kondisi di atas untuk memenuhi tuntutan lahir dari iman (dalam bentuk agamanya, dalam bentuk zahir), maka jujur saya justru akan menjadi rusak alias tidak akan merasa bahagia...
apakah saya sesat? bid'ah? kafir?
bukan anda yang menilai, tapi Tuhan... jangan berlagak seperti Tuhan atau merasa menjadi Tuhan dengan menghakimi dan menjustifikasi saya sebagai kafir, dengan membawa setumpuk kitab-kitab.... jika demikian, anda sama saja seperti keledai yang membawa banyak kitab (Al-Jumu'ah: 5)....
Sumber asli : http://www.facebook.com/notes/andhika-aryatama/ingin-bahagia-tinggalkan-agama/10150363377890765
Ditulis Oleh : Andhika Aryatama
Post a Comment
Orang Keren habis baca pasti komen, setuju ?